|
Makna
Idul Fitri/Adha
Oleh
: Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat
Pada
setiap kali menjelang Idul Fithri seperti sekarang ini (Ramadhan 1412H) atau
tepat pada hari rayanya, seringkali kita mendengar dari para Khatib
(penceramah/muballigh) di mimbar menerangkan, bahwa Idul Fithri itu maknanya
-menurut persangkaan mereka- ialah “Kembali kepada Fitrah”, Yakni : Kita
kembali kepada fitrah kita semula (suci) disebabkan telah terhapusnya dosa-dosa
kita.
Penjelasan mereka di atas, adalah batil baik ditinjau dari
jurusan lughoh/bahasa ataupun Syara’/Agama. Kesalahan mana dapat kami maklumi
-meskipun umat tertipu- karena memang para khatib tersebut (tidak semuanya)
tidak punya bagian sama sekali dalam bahasan-bahasan ilmiyah. Oleh karena itu
wajiblah bagi kami untuk menjelaskan
yang haq dan yang haq itulah yang wajib dituruti Insya Allahu Ta’ala.
Kami
berkata :
Pertama
:
“Adapun kesalahan mereka menurut lughoh/bahasa, ialah bahwa lafadz Fithru/ Ifthaar” artinya menurut bahasa : Berbuka (yakni berbuka puasa jika terkait dengan puasa). Jadi Idul Fithri artinya “Hari Raya berbuka Puasa”. Yakni kita kembali berbuka (tidak puasa lagi) setelah selama sebulan kita berpuasa. Sedangkan “Fitrah” tulisannya sebagai berikut [Fa-Tha-Ra-] dan [Ta marbuthoh] bukan [Fa-Tha-Ra]“.
“Adapun kesalahan mereka menurut lughoh/bahasa, ialah bahwa lafadz Fithru/ Ifthaar” artinya menurut bahasa : Berbuka (yakni berbuka puasa jika terkait dengan puasa). Jadi Idul Fithri artinya “Hari Raya berbuka Puasa”. Yakni kita kembali berbuka (tidak puasa lagi) setelah selama sebulan kita berpuasa. Sedangkan “Fitrah” tulisannya sebagai berikut [Fa-Tha-Ra-] dan [Ta marbuthoh] bukan [Fa-Tha-Ra]“.
Kedua
:
“Adapun kesalahan mereka menurut Syara’ telah datang hadits yang menerangkan bahwa “Idul Fithri” itu ialah “Hari Raya Kita Kembali Berbuka Puasa”.
“Adapun kesalahan mereka menurut Syara’ telah datang hadits yang menerangkan bahwa “Idul Fithri” itu ialah “Hari Raya Kita Kembali Berbuka Puasa”.
“Dari
Abi Hurairah (ia berkata) : Bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah
bersabda. “Shaum/puasa itu ialah pada hari kamu berpuasa, dan (Idul) Fithri itu
ialah pada hari kamu berbuka. Dan (Idul) Adlha (yakni hari raya menyembelih
hewan-hewan kurban) itu ialah pada hari kamu menyembelih hewan”.
[Hadits
Shahih. Dikeluarkan oleh Imam-imam : Tirmidzi No. 693, Abu Dawud No. 2324, Ibnu
Majah No. 1660, Ad-Daruquthni 2/163-164 dan Baihaqy 4/252 dengan beberapa jalan
dari Abi Hurarirah sebagaimana telah saya terangkan semua sanadnya di kitab
saya "Riyadlul Jannah" No. 721. Dan lafadz ini dari riwayat Imam
Tirmidzi]
Dan
dalam salah satu lafadz Imam Daruquthni :
“Puasa
kamu ialah pada hari kamu (semuanya) berpuasa, dan (Idul) Fithri kamu ialah
pada hari kamu (semuanya) berbuka”.
Dan
dalam lafadz Imam Ibnu Majah :
“(Idul)
Fithri itu ialah pada hari kamu berbuka, dan (Idul) Adlha pada hari kamu
menyembelih hewan”.
Dan
dalam lafadz Imam Abu Dawud:
“Dan
(Idul) Fithri kamu itu ialah pada hari kamu (semuanya) berbuka, sedangkan
(Idul) Adlha ialah pada hari kamu (semuanya) menyembelih hewan”.
Hadits
di atas dengan beberapa lafadznya tegas-tegas menyatakan bahwa Idul Fithri
ialah hari raya kita kembali berbuka puasa (tidak berpuasa lagi setelah selama
sebulan berpuasa). Oleh karena itu disunatkan makan terlebih dahulu pada pagi
harinya, sebelum kita pergi ke tanah lapang untuk mendirikan shalat I’ed.
Supaya umat mengetahui bahwa Ramadhan telah selesai dan hari ini adalah hari
kita berbuka bersama-sama. Itulah arti Idul Fithri artinya ! Demikian pemahaman
dan keterangan ahli-ahli ilmu dan tidak ada khilaf diantara mereka.
Bukan
artinya bukan “kembali kepada fithrah”, karena kalau demikian niscaya
terjemahan hadits menjadi : “Al-Fithru/suci itu ialah pada hari kamu bersuci”.
Tidak ada yang menterjemahkan dan memahami demikian kecuali orang-orang yang
benar-benar jahil tentang dalil-dalil Sunnah dan lughoh/bahasa.
Adapun
makna sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa puasa itu ialah pada hari
kamu semuanya berpuasa, demikian juga Idul Fithri dan Adlha, maksudnya : Waktu
puasa kamu, Idul Fithri dan Idul Adha bersama-sama kaum muslimin (berjama’ah),
tidak sendiri-sendiri atau berkelompok-kelompok sehingga berpecah belah sesama
kaum muslimin seperti kejadian pada tahun ini (1412H/1992M).
Imam
Tirmidzi mengatakan -dalam menafsirkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
di atas- sebagian ahli ilmu telah menafsirkan hadits ini yang maknanya :
“Bahwa
shaum/puasa dan (Idul) Fithri itu bersama jama’ah dan bersama-sama orang
banyak”.
Semoga
kaum muslimin kembali bersatu menjadi satu shaf yang kuat berjalan di atas
manhaj dan aqidah Salafush Shalih
SALAH KAPRAH ARTI IDUL FITRI DAN MINAL
AIDIN WAL FAIZIN
Selama ini banyak di antara kita yang salah
kaprah dalam memaknai frase ‘Idul Fitri’. Kata ‘Ied’diartikan ‘kembali’ dan
kata kata ‘fitri’ karena dianggap berasal dari kata ‘FITHROH’ (dengan ha
marbuthoh) yang artinya ‘asal’ atau ‘suci’ atau ‘bersih’. Jadi kata ‘Idul
fitri’ diartikan ‘kembali ke asal kita yang bersih/suci’. Argumentasi fiqihnya,
krna orang yang berpuasa oleh Allah dijanjikan akan diampuni seluruh
dosa-dosanya, sehingga pada tanggal 1 syawal tsb dia ibarat bayi yang suci dari
noda dan dosa.
Pemahaman yang semacam itu secara etimologi
tidak tepat. Kata ‘fitri’ pada ‘Iedul Fitri’ bukan berasal dari ‘FITHROH’
tetapi dari kata ‘FITHR’ (fathoro-yafthuru-ifthor) yang artinya ‘berbuka’. Jadi
frasa ‘Idul fitri’ artinya ‘kembali berbuka’. Maksudnya, kembali seorang yang
tadinya berpuasa diperbolehkan melakukan makan-minum di pagi hari pada tanggal
1 Syawal tersebut atau tanda bhwa bln ramadhan tlh berakhir.
Karena salah satu sifat bahasa manasuka, kedua
pemaknaan tersebut tentu saja sah dan boleh-boleh aja. Walaupun demikian, kalau
direnungkan lebih dalam pemaknaan Idul Fitri versi pertama tersebut (kembali
menjadi manusia yang suci) sesungguhnya sangat berat dan spekulatif. Betulkah
puasa Ramadhan yang kita lakukan selama satu bulan tersebut diterima oleh Allah
SWT, sehingga menggugurkan dosa2 kita dan mengantarkan kita menjadi
manusia-manusia yang suci laksana seorang bayi? Padahal Rasulullah
saw.menengarai melalui sabdanya, bahwa sungguh betapa banyak orang yang
berpuasa –tetapi karena tidak dilakukan dengan keimanan dan perhitungan
(ikhtisaban)—maka yang bakal dia peroleh hanyalah rasa lapar dan dahaga saja.
Jadi persoalan diterima tidaknya amalan puasa ramadhan seorang hamba
benar-benar hanya Allah saja yang mengetahuinya.
Atas dasar karena puasa ramadhan seseorang belum
tentu diterima oleh Allah inilah, maka ucapan tahniah atau ucapan selamat yang
diajarkan oleh rasulullah saat antarsesama muslim bersua di hari Iedul Fitri
yakni ‘Taqobalallahu minna waminka (waminkum), waja’alana minal adin wal faizin”,
yang artinya “Semoga Allah menerima amaliyah ramadhan saya dan ramdhan
anda/kalian, dengan demikian kita akan menjadi orang yang kembali (kpd agama)
dan orang yang berbahagia karena telah beroleh kemenangan”.
Sedangkan pada kebanyakan masyarakat kita
tahniah Iedul Fitri minal aidin walfaizin= mohon maaf lahir batin. Selain
penerjemahan seperti ini jelas ngawur juga frasa “mohon maaf lahir batin’ juga
secara semantic sesungguhnya kabur. Apakah maaf lahir itu? Kata ‘lahir’ dalam
bahasa Indonesia ini dipungut dari bahasa Arab ‘al-dhohiru’ yang artinya tampak
wujudnya. Sedangkan kata ‘batin’ berasal dari kata ‘al-bathinu’, yang arttinya
tidak tampak wujudnya. Jadi jika merunut arti semantiknya pernyataan ‘mohon
maaf lahir dan batin’ berarti mohon maaf atas kesalahan yang tampak maupun yang
tidak tampak. Benarkah demikian? ( Jadi diandaikan seolah-olah orang yang kita
mintai maafnya itu peramal/ paranormal yang bisa memihat yang tampak dan yang
tidakj tampak hehe…). Bukankah akan lebih pas jika kita memohon maaf itu atas
kesalahan-kesalan yang disengaja atau yang mungkin tidak disengaja? Ini lebih
manusiawi sekaligus rasional
Menurut saya boleh jadi akibat pemahaman-pemahan yang keliru inilah sesungguhnya pangkal mula mengapa ritual Idul Fitri dalam kantong memori umat Islam di negeri ini dan sekitarnya dipersepsi sebagai kegiatan budaya yang wajahnya seperti kita lihat saat ini; memunculkan terjadinya perpindahan manusia secara besar-besaran dari kota ke desa yang disebut mudik, tradisi sungkeman, tradisi halal bihalal dan sejenisnya.. Padahal andai saja pengartian Idul Fitri itu pada yang kedua , yakni ‘kembali berbuka’ mungkin persoalanya akan jauh lebih sederhana dan kedatangan hari raya Idul Fitri tidak harus menjadi perhelatan budaya kolosal seperti sekarang ini. Wallahu a’lam. (Kholid A.Harras)
Awas Kesalahan Penulisan
Menurut saya boleh jadi akibat pemahaman-pemahan yang keliru inilah sesungguhnya pangkal mula mengapa ritual Idul Fitri dalam kantong memori umat Islam di negeri ini dan sekitarnya dipersepsi sebagai kegiatan budaya yang wajahnya seperti kita lihat saat ini; memunculkan terjadinya perpindahan manusia secara besar-besaran dari kota ke desa yang disebut mudik, tradisi sungkeman, tradisi halal bihalal dan sejenisnya.. Padahal andai saja pengartian Idul Fitri itu pada yang kedua , yakni ‘kembali berbuka’ mungkin persoalanya akan jauh lebih sederhana dan kedatangan hari raya Idul Fitri tidak harus menjadi perhelatan budaya kolosal seperti sekarang ini. Wallahu a’lam. (Kholid A.Harras)
Awas Kesalahan Penulisan
1. Minal ‘Aidin wal Faizin = Penulisan yang
benar berdasarkan penulisan kaidah fonologis
2. Minal Aidin wal Faizin = Juga benar
berdasarkan EYD
3. Minal Aidzin wal Faidzin = Salah, karena
penulisan “dz” berarti huruf “dzal” dalam abjad arab
4. Minal Aizin wal Faizin = Salah, karena pada
kata “Aizin” seharusnya memakai huruf “dal” atau dilambangkan huruf “d” bukan
“z”
5. Minal Aidin wal Faidin = Juga salah, karena
penulisan kata “Faidin”, seharusnya memakai huruf “za” atau dilambangkan dengan
huruf “z” bukan “dz” atau “d”
Mengapa hal ini perlu diperhatikan? Karena
kesalahan penulisan abjad juga berarti berimplikasi pada pemaknaan yang juga
bisa salah. Seperti dalam bahasa inggris, antara Look dan Lock beda maknanya
bukan? Padahal perbedaanya disebabkan oleh salah satu huruf saja..